My Coldest CEO

25| Offers And Kisses



25| Offers And Kisses

0Sesuai dengan perintahnya tadi dan sebuah perkataan yang mirip perjanjian kalau Leo akan memasak malam untuk Felia pada hari ini, mereka sudah duduk tepat di kursi makan dan saling bertatapan satu sama lain. Si laki-laki yang menunggu respon berupa komentar dari seseorang di seberangnya, dan si wanita yang sedang sibuk mengunyah potongan salmon ke dalam mulutnya.     

"Apa ini, Tuan?" tanya Felia yang sudah berhasil menelan kunyahan, menyapa dinding tenggorokannya dan langsung saja masuk ke bagian pencernaan tubuh.     

Menaikkan sebelah alisnya, hei pertanyaan seperti apa itu? "Sudah jelas yang kamu makan adalah salmon, memangnya bisa berubah jadi tenderloin?" tanya Leo sambil terkekeh kecil. Ia meraih gelas yang berisi red wine, sesuai dengan permintaannya. Meneguknya dengan perlahan tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun dari Felia, ia mengecap nikmat merasakan aroma alkohol bersarang di rongga mulutnya.     

"Ah bukan itu maksud ku, Tuan. Apa nama hidangan ini? maaf aku tidak tahu." ucap Felia yang memberikan penjelasan lebih terhadap ucapannya yang tadi memang memiliki banyak artian, kan kalau jelas seperti ini sang lawan bicara tidak akan salah sangka dengan topik pembicaraan yang di bawa.     

Leo menganggukkan kepalanya, paham dengan pertanyaan Felia. "Jadi, itu namanya baked salmon with creamy truffle carbonara sauce. Apa rasanya enak? atau ada yang kurang? Sudah lama saya tidak memasak karena sibuk dengan pekerjaan kantor yang selalu menumpuk." ucapnya.     

"Kenapa namanya susah sekali? dan rasanya sungguh luar biasa. Kenapa CEO seperti diri mu bisa memasak? maksud ku, beberapa dari laki-laki di dunia ini pasti enggan jika di suruh memasak."     

"Ya anggap saja saya berbeda,"     

"Kalau begitu, sebaiknya Tuan mengajari ku caranya memasak dengan rasa yang pas seperti ini."     

Leo menatap Felia. Kedua manik mata mereka masih bertemu, saling bertabrakan satu sama lain. Terdapat tatapan kesungguhan sekaligus keluguan di balik bola mata yang sangat indah itu. "Berarti kamu mengharapkan pertemuan kita ada ketiga kali dan seterusnya?" tanyanya sambil menaik turunkan alis, bahkan dirinya sudah mengulum sebuah senyuman yang menggelikan.     

"Hah? eh tidak bukan maksud seperti itu, ah berbicara dengan mu sangat membingungkan, Tuan. Aku selalu tidak paham dengan obrolan kita, nanti pasti berakhir awkward." ucap Felia sambil memotong kembali daging salmon, lalu di masukkan ke dalam mulutnya. Mengunyah dengan perlahan, merasakan setiap inci kelezatan. Hei, tidak, ia tidak melebih-lebihkan ini! Coba saja buktikan bagaimana sensasi nikmat makanan ini, belum lagi yang membuatnya adalah seorang Luis yang bernotabene CEO terkaya.     

"Saya mau ajak kamu ke Paris, gimana?"     

Nyaris tersedak, Felia langsung meraih segelas air mineral dingin yang sebelumnya sudah ia sediakan. Meneguknya dengan perlahan supaya makanan yang menggantung di tenggorokan lari masuk ke pencernaan semestinya. "Jangan gila, Tuan. Aku bukan siapa-siapa bagimu, dan begitu juga sebaliknya." ucapnya sambil mengusap ujung bibir yang terdapat bulir air, lalu menaruh gelas tersebut kembali ke tempatnya.     

Leo mengangkat bahunya, ia tidak peduli tentang itu. Yang penting dirinya kenal dan sudah mengetahui jika Felia itu adalah wanita baik-baik. "Kamu tahu kalau saya tidak akan pernah menerima penolakan, sekecil apapun." ucapnya sambil memasukkan potongan salmon ke dalam mulutnya. Kalau makanan yang di masak sendiri, tentu saja kelezatan yang di katakan Felia sudah tidak tercipta jelas di indra pengecap miliknya.     

Faktor keterbiasaan membuat seseorang menjadi biasa saja, tapi tidak melunturkan kegemarannya yang dari dulu memang hobi memasak.     

"Tidak perlu, Tuan. Memangnya kamu pikir ke Paris itu biayanya murah? selalu saja mengeluarkan uang untuk diri ku tanpa berpikir panjang sebelumnya,"     

"Biarkan saja, anggap saja saya menjadikan diri mu teman kencan setelah Azrell, bagaimana?"     

Keluar negeri memang idaman banyak orang, termasuk Felia. Namun mengingat Azrell yang juga menjalin hubungan dengan laki-laki ini sebelum dirinya, itu hal yang sangat mengganjal.     

"Tidak perlu, nanti Ica memusuhi diri ku hanya karena laki-laki seperti mu."     

"Apa? bagus lah. Kamu kehilangan sosok wanita yang tamak, dan mendapatkan laki-laki seperti diriku."     

Leo menatap wajah Felia. Setiap ia menawarkan sesuatu yang bagi wanita itu terdengar mewah, pasti raut wajah bimbang tercetak jelas di wajahnya. Ia memang memiliki kebiasaan buruk, yaitu suka menghambur-hamburkan uang dan keluar negeri berkali-kali sekalian refreshing.     

Lama kelamaan, hanyut dalam percakapan ini, masing-masing piring mereka sudah kosong. Dan ya, seperti biasa Leo menyudahi makan malamnya dengan segelas red wine.     

"Kapan-kapan saja Tuan, lagipula ada pekerjaan yang harus menjadi tanggung jawab bagi ku." ucap Felia sambil mengulas sebuah senyuman kecil. Ia meraih serbet yang berada di pangkuan, lalu mengelap sudut bibirnya. Menyudahi makan malam hari ini, lalu beranjak dari duduknya begitu melihat Leo yang juga sudah melakukan hal serupa dengan dirinya.     

"Kalau begitu, saya yang akan mengizinkannya ke Tuan rumah mu."     

"Ah merepotkan sekali ya kalau tidak menuruti apa mau mu, Tuan."     

"Kan sudah saya katakan, lebih baik menerima dan menganggap kalau tawaran saya ini adalah sebuah anugerah dari tuhan."     

Leo melihat wajah Felia yang sudah cemberut sambil menyusun piring kotor mereka. Jadi, benar dengan apa yang di katakan Bara kalau wanita ini sangat berteman baik dengan pekerjaan rumah? idaman sekali.     

Tidak perlu mencari wanita yang memiliki wajah menawan, carilah wanita yang mampu melakukan segala kewajibannya saat nanti sudah menjalin rumah tangga.     

Karena dengan modal fisik mulus saja, belum dapat di pastikan menjadi yang terbaik. Karena yang terbaik, pasti di ukur dari segala segi, bukan hanya dari pahatan wajah.     

Melihat, Felia yang mulai melangkahkan kakinya ke arah wastafel untuk mencuci piring kotornya sekaligus supaya tidak menumpuk. Ia menaruh serbet di atas meja, lalu beranjak dari duduknya sambil memegang gelas bekas dirinya dan juga wanita tersebut. Melangkahkan kaki ke arah Felia, lalu meletakkan gelas tersebut di dalam wastafel.     

"Saya tunggu akhir pekan, jangan menolak."     

Dirinya sudah cuti 4 hari, berarti sisah 2 hari kerja dan 1 akhir pekan. Ia memiliki waktu dua hari untuk menunggu perjalanan mereka menggunakan jet pribadi kepunyaannya.     

"Tap--"     

"Tidak ada tapi-tapian, ke Paris bersama saya atau saya akan setiap hari berkunjung ke rumah mu?"     

"Oh ayolah, apa tidak ada penawaran yang lebih menarik? seperti 'lebih baik kamu diam saja di rumah, dan aku tidak akan mengganggumu lagi' bukan kah itu terdengar lebih sederhana?"     

"Felia, kalau kamu mengajarkan saya tentang kesederhanaan, saya akan mengajarkan segala hal tentang kemewahan untuk mu. Imbas, kan?"     

Leo menatap Felia, wanita itu sepertinya masih berpikir keras. Ah rasanya ia ingin tertawa karena memang hanya Felia saja yang berpikir beratus-ratus kali untuk menerima tawarannya. Dulu, pas ia bersama Azrell, justru wanita itu yang selalu merengek untuk di ajak keluar negeri. Tidak pernah dirinya menawarkannya cuma-cuma, seperti berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan dirinya kepada wanita ini.     

"Akan ku pikirkan lagi, Tuan. Aku ingin mencuci piring dulu, sesaat lagi filmnya mulai. Sebaiknya kamu tunggu,"     

Leo bergeming, tidak bergerak sama sekali dari pijakan yang bersebelahan dengan Felia. Membuat wanita tersebut merasa aneh, dan menolehkan kepalanya bahkan sampai harus memutar arah tubuh supaya bisa menatap dirinya.     

"Apa ada yang ingin di bicarakan lagi, Tuan?" tanya Felia dengan alis yang terangkat sebelah, ia mengulas senyuman simpul.     

Leo? ia kini sedang menatap Felia, masih menatap wanita itu dengan ... entahlah tidak tahu dengan tatapan yang sulit di artikan.     

Cup     

Untuk yang kedua kalinya dalam hari ini, bibir sexy miliknya mulai mendarat ke bibir mungil tipis itu. Melumatnya dengan sangat lembut, dan saat Felia tidak memberikan akses supaya lidahnya masuk ia segera menggigit kecil bibir bagian dalam itu.     

"Awsssh Tu-ann sashkit." ringis Felia karena kini bibir dalamnya merasa perih. Wajar saja, baru pertama kali dan dirinya tidak terbiasa.     

Leo menarik senyumannya, lalu melepaskan lumatan mereka. "Terimakasih sudah berhasil mengalihkan perhatian saya dari Azrell," gumamnya sambil menahan tangan di kedua sisi rahang tirus Felia. Mengusap jejak saliva yang tertinggal di sudut mulut wanita itu, lalu menurunkan tangannya. Seolah-olah hal tadi bukan lah masalah besar.     

"Selesaikan pekerjaan mu, saya akan menunggumu sambil menonton acara TV lainnya saja." sambungnya sambil memutar tubuh, berjalan menuju ke arah kasur yang memang sudah terlihat bergelombang karena sebelumnya ia juga berada di atas sana.     

Sedangkan Felia? ia segera mengerjakan kedua bola matanya. 'Bodoh, kenapa tidak melawan?' tanyanya dalam hati. Ia merutuki kebodohannya karena merasa terhipnotis dengan perlakuan Leo barusan yang melumat bibirnya tanpa permisi. Apa laki-laki selalu seperti itu?     

"Jangan sampai aku ketagihan karena dirinya," gumamnya dengan hembusan napas yang terdengar ringan. Ia benar-benar tidak bisa mendeskripsikan saat ciumannya di ambil untuk yang kedua kalinya oleh Leo, sialnya itu sangat memabukkan, astaga!     

"Saya mendengar ucapan kamu, Fe."     

Leo tentu saja mendengar apa yang digumamkan oleh Felia, toh ruangan yang tidak terlalu besar ini dan tidak bising membuat kalimat seolah-olah terpantul sampai ke telinganya.     

"Astaga Tuan, jangan menguping!"     

"Memangnya kamu berbicara sama siapa? selagi berbicara kepada diri sendiri dan orang lain mendengarnya, tentu saja itu bukan menguping."     

"Sama saja!"     

"Jadi, apa yang kamu bilang barusan?"     

Leo suka sekali menggoda wanita dalam artian menyenangkan, bukan dalam artian pemikiran dewasa. Apalagi melihat Felia yang kini memiliki pipi bersemu merah karena malu dengan ucapannya sendiri.     

"Tidak, aku tidak bilang apapun."     

"Mengenai ketagihan? tenang saja selagi kita bertemu, bibir sexy ku tidak akan pernah absen dari bibir mu."     

"Kenapa kamu bawel sekali, Tuan?"     

Leo melihat Felia yang sudah menaruh piring hasil cuciannya ke rak, namun dengan gerak gerik kikuk. Lalu terlihat tubuh mungil itu yang berbalik badan, terlihat jelas wajah bak kepiting rebus.     

"Tidak ada yang berani memanggil saya dengan sebutan bawel, Fe."     

"Iya, karena aku wanita yang berbeda."     

"Kalau kamu berbeda, pasti tidak akan pernah jatuh ke dalam rayuan klasik yang saya luncurkan untuk kamu."     

Bergeming, Leo melihat tubuh wanita itu yang menegang seperti dirinya menembak Felia dengan sangat tepat.     

"Tidak, tentu saja aku tidak jatuh. Buktinya kini aku masih berdiri tegak."     

Leo terkekeh, entah kenapa mungkin Felia memiliki sedikit bakat untuk melawak. "Jadi, kamu ingin merasakan bibir saya lagi?"     

"Tidak, Tuan! Menyebalkan sekali ya kamu,"     

"Terus?"     

"Selain menyebalkan, kamu juga bawel dan sangat suka memaksa diri ku."     

"Kalau begitu, jaga hati mu supaya tidak jatuh ke dalam pesona saya, Felia." balas Leo dengan suaranya yang di buat rendah.     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.